agama dan budaya kerajaan sriwijaya
Agama
Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs
Bukit Seguntang, Palembang, abad ke-7 sampai ke-8 M.
Sebagai pusat pengajaran
Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok
I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di
Universitas Nalanda,
India, pada tahun
671 dan
695,
I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha
sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas,
terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat
1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada
Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
[21]
“ |
Terdapat
lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta
mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari
semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan
ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di
India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas
Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma
auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2
tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat. |
” |
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin
emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran
Buddha Hinayana dan
Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10,
Atiśa, seorang sarjana Buddha asal
Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di
Tibet dalam kertas kerjanya
Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan
Sri Cudamani Warmadewa penguasa
Sriwijayanagara di
Malayagiri di
Suvarnadvipa.
[22]
Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia,
Sriwijaya pernah berperan sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran
ajaran Buddha.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya
India, pertama oleh budaya
Hindu kemudian diikuti pula oleh agama
Buddha. Peranannya dalam
agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di
Ligor,
Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun
abad ke-7 hingga
abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan
bahasa Melayu beserta kebudayaannya di
Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan
Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam
perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000
biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan
baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.
[4]
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar
pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang
dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang
semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi
cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya
pengaruh Sriwijaya.
Budaya
Arca
Maitreya dari
Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks
dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana
digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra
abad ke-7 seperti
Prasasti Talang Tuo
menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah
yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk
rakyatnya.
Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara
Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan
bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan
bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di
Nusantara.
Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa
prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di
pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa
Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini
menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa
Melayu menjadi
lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
[24]
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer,
Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung
negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa
Tengah saat kepemimpinan wangsa
Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti
Candi Kalasan,
Candi Sewu, dan
Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain
Candi Muaro Jambi,
Candi Muara Takus, dan
Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di
Bukit Seguntang, Palembang
[25], dan arca-arca Bodhisatwa
Awalokiteswara dari Jambi
[26], Bidor,
Perak[27] dan
Chaiya,
[28] dan arca
Maitreya
dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan
keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau
"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin
diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa
(sekitar abad ke-8 sampai ke-9).
[29]